Pusat Oleh-oleh "Lestari"

Pusat oleh-oleh khas Pacitan, menyediakan aneka jenis sale, keripik pisang, dodol ketan, keripik kentang dan lain-lain. Informasi pembelian dan pemesanan, hubungi : CV Lestari, Jl SA Tirtoyoso 2 Sirnoboyo Pacitan Telp. (0357) 883485

Thursday, December 27, 2007

Sale Cumi - cumi Makin Diminati

Sejak dipasarkan ke luar Jawa, sale pisang produksi Lestari makin diminati baik wisatawan lokal maupunmanca. Ini karena bentuk dan rasanya yang khas. Mesti sale tiruan jenis ini sudah banyak yang muncul dari kota-kota lain, namun citarasa yang beda membuat konsumen tak beralih. Ini dibuktikan dengan besarnya pesanan dari Bali, Jakarta dan Indonesia Timur. Agar tidak ketinggalan produk-produk terbaru kami, silahkan angkat telepon hubungi kami sekarang juga. Sale produksi Lestari cocok untuk resepsi pernikahan, oleh-oleh dan camilan pertemuan resmi.

Friday, December 7, 2007

Ke Pacitan Tak Lengkap Tanpa Sale

Mengunjungi deretan obyek wisata di Kabupaten Pacitan memang akan menjadi pengalaman baru bagi setiap orang. Betapa tidak, dikawasan ujung paling barat provinsi Jawa Timur ini, Pacitan yang nyaris "hilang" dari peta sesungguhnya menawarkan sebuah keindahan tersendiri. Bukan saja karena pantai-pantinya yang indah, seperti Teleng Ria, Srau, Karang Bolong, Klayar, atau kemegahan stalaktit dan stalakmit yang ada di sejumlah gua, aktivitas masyarakatnya pun mampu memberikan inspirasi yang unik.Di kawasan yang luas wilayahnya mencapai 1.389,87 Km² ini, masyarakat hidup secara damai. Mereka menjalani kehidupan dengan bekerja diberbagai bidang. Nelayan dan petani merupakan salah satu mata pencaharian penduduk Pacitan, disamping berbagai mata pencaharian lain seperti kerajinan batu alam, perak, ternak udang dan lobster serta industri rumah tangga lainnya seperti terasi atau sale.Mengunjungi Pacitan tentu sangat menyenangkan bagi anda yang berkesempatan bisa datang kedaerah ini. Tapi bagi anda yang belum sempat jangan khawatir. Anda bisa mendapatkan oleh-oleh yang enak, gurih dan nikmat hanya dengan menitipkan pesan kepada teman Aanda yang sedang berkunjung ke Pacitan. Salah satu pilihannya adalah sale pisang Pacitan.Kenapa harus sale ?Barangkali ada pertanyaan seperti ini. Sale adalah salah satu makanan khas Pacitan, selain nasi tiwul dan ikan kalakan. Bahannya terbuat dari pisang manis yang dikeringkan secara alami. Dimasak tanpa bahan pengawet namun bisa bertahan dalam waktu beberapa bulan. Dengan kemasan yang unik, sale Pacitan bisa anda temui dalam berbagai bentuk, baik kemasan biasa dalam ukuran sedang, berbentuk anggur yang berwarna-warni serta lembaran-lembaran besar. Semuanya tetap nikmat dan sangat cocok menjadi hidangan dikala keluarga berkumpul.Untuk mendapatkan sale Pacitan, harus saya datang ke Pacitan ? Ini pertanyaan yang sering muncul. Tidak perlu khawatir. Kecanggihan teknologi bisa anda manfaatkan. Kami akan memandu anda jika ingin mendapatkan oleh-leh itu. Informasi lebih lanjut, hubungi pusat jajanan khas Pacitan, Jl Sultan Ageng Tirtayasa no 2 Pacitan, Telp (0357) 883485.

Sale, Cita Rasa Khas Pacitan (2)

Akhirnya, usaha yang dirintisnya ini, mulai dibantu oleh Kelompencapir Desa Bangunsari, hingga pernah mengisi salah satu acara di TVRI Surabaya tahun 1989. Secara terus menerus, kelompencapir desa ini membina mulai dari proses pembuatan, pengemasan dan membantu pemasarannya. Beberapa pameran-pameran lokal di Kabupaten Pacitan pun, mulai sering diikuti. Dengan pembinaan ini, jumlah produksi bias ditambah dan mampu memenuhi jumlah permintaan dari konsumen.
Keuletan dan kegigihannya dalam mengembangkan produksi ke skala yang lebih tinggi inilah yang mendorong (Alm) Ibu Sudjito –istri Bupati Pacitan Periode19………- untuk secara intens membina usaha pembuatan sale pisang ini. Akhirnya, tahun 1990 sale pisang “Lestari” buatan Bu Pri, mampu menembus tingkat propinsi dan selalu mengikuti pameran makanan khas daerah berkembang di Surabaya hingga sekarang.
Sejak itulah, kualitas dan kuantitas produksi mulai ditambah. Jika awalnya hanya mampu mengolah pisang menjadi sale goreng, dengan tingkat pemasaran lokal dan sekitar sekolah, dirinya mulai merambah ke warung dan toko-toko pusat pembelanjaan masyarakat. Tidak itu saja, jenis produksinyapun mulai ditingkatkan. Dirinya mencoba menambah jenis pengerjaan sale dengan berbagai kemasan.
Saat ini, ibu yang hanya jebolan sekolah dasar ini mampu menembus pasaran nasional. Dengan harga pisang yang mulai merambah naik menjadi 25 ribu setiap tandannya, tau sekitar 2.500 rupiah tiap sisirnya, jumlah produksi dan pekerjanya juga mulai naik. Meski, usaha ini masih dikategorikan sebagai usaha rumah tangga.
Tiap bulannya, produksi sale goreng mampu menembus 3000 bungkus, sale dengan kemasan anggur mencapai angka 1000 bungkus, kemasan anggur warna mencapai 4000 dan sale basah dan press mencapai 1000 bungkus. Sedangkan untuk area pemasarannya telah menguasai pasar lokal. Sedangkan di luar kota, satu minggu sekali selalu mengirimkan ke Madiun, Ponorogo, Surabaya, Bali dan Jakarta. Hingga dengan kenaikan oplah penjualannya mampu meraup keuntungan minimal 5 juta rupiah tiap bulannya.
“Saya memang memulai usaha ini dari nol. Bukan hanya keuntungan material saja yang didapat, saya juga bisa membantu suami untuk mengantar kedua anak saya, mendapat predikat sarjana,” tandas Bu Pri sambil tersenyum.
Selain kemasan yang beraneka, keunikan lain dari produksi Sale Lestari ini adalah rasa manis yang ditimbulkan, bukan berasal dari pemanis buatan. Manis yang dikecap saat menikmati jajanan, adalah rasa manis yang berasal dari glukosa yang terkandung dalam pisang. Dalam produksinya, ibu dengan perawakan langsing ini tidak pernah memberi gula atau pemanis buatan lainnya dalam tepung atau dioleskan pada produk. Menurutnya, memang ada pula beberapa hasil produksi sale dari orang lain yang menggunakan pemanis buatan. Hasilnya, produk memang kelihatan lebih mengkilap dan rasa manis yang berlebihan. “Kalau ditambah dengan pemanis buatan, produk kan tidak bisa tahan lama dan makanan tersebut lama kelamaan pasti ditinggalkan konsumen. Pemanis buatan kan memang tidak baik buat tubuh,” imbuhnya.

Sale, Cita Rasa Khas Pacitan (1)

Mentari baru saja menampakkan wajahnya. Udara dingin disertai saputan kabut tipis masih terasa menusuk tulang dan adzan subuh pun baru saja dikundangkan. Suasana sepi yang masih menyelimuti tidak pernah diindahkan. Kedua tangan sibuk memilah pisang yang matang, mengupas lalu dengan sigap mengirisnya menjadi tujuh atau delapan bagian panjang. Sesekali kedua lutut ditekuk untuk menghindari udara dingin pagi itu. Ditemani dua orang pekerjanya, Bu Pri memisahkan pisang hasil kupasan. Yang agak besar, sangat matang dan tidak ada bijinya disisihkan dalam waskom sendiri untuk diolah menjadi sale basah. Pisang yang ukuran kecil dibuat menjadi sale goreng, dan ukuran sedang tapi matang akan disulap menjadi sale kipas.
Itulah keseharian Bu Pri, seorang pemilik usaha industri rumah tangga pembuatan makanan khas sale pisang di Kabupaten Pacitan. Bangun sekitar jam 4.30 pagi, menjalankan kewajibannya sebagai muslim lalu melanjutkan rutinitas mengolah pisang menjadi sale. Mulai dari memilah pisang, mengupas, mengiris hingga menjemurnya di bawah sinar matahari dilakoni hingga jam 8 pagi.
Kesibukan ini berawal dari tahun 1988 silam. Kala itu, stok buah pisang di Pacitan melimpah, namun tidak diimbangi dengan kemampuan olah produksi dan tingkat konsumsi masyarakat yang relatif masih rendah. Pisang yang ditujukan pada khalayak umum ini, hanya dihargai seratus rupiah per sisir atau seribu rupiah tiap tandannya. Hal ini tentu membuat petani pisang menjadi kelabakan. Saat panen pisang tiba, dirinya hanya mendapat sedikit upah sebagai kerja kerasnya selama 6 bulan. Maklum saja, saat itu pisang hanya dibuat menjadi pisang goreng atau pisang rebus. Hasil olahannya, hanya dijual di warung-warung makan atau kantin dekat sekolah. Hingga praktis, tingkat penjualan atau keuntungan tidak mengalami kenaikan atau stagnan.

Inilah yang menggelitik Bu Pri untuk membuat sebuah terobosan baru. Bagaimana mengubah pisang, terutama pisang awak -demikian masyarakat Pacitan menyebut pisang kecil, banyak bijinya, kurang manis, nilai jual sangat rendah namun banyak ditemukan di Pacitan- menjadi makanan olahan dengan nilai jual yang lebih tinggi.
Jenis pembuatan sale ini memang berbeda dengan produksi sale pisang yang sudah beredar dipasaran. Memang, saat itu di Pacitan sudah banyak ditemukan sale pisang –tanpa digoreng- yang dibungkus dengan daun pisang kering. Tentu saja, kehigienisannya dipertanyakan. Karena banyak pula ditemukan ulat-ulat kecil didalam sale tersebut. Awalnya, ibu dengan empat orang putra ini mengiris satu buah pisang menjadi enam hingga tujuh bagian memanjang. Kemudian dibentuk bulat dengan lobang ditengah dan dijemur. Dicampur dengan tepung dan digoreng hingga kering. Produksi awalnya hanya cukup untuk disetor di dua kantin SDN Sirnoboyo, di desa tempat tinggalnya. Bahkan, dia hanya menjajakan dagangannya seharga 20 rupiah untuk setiap satu bungkus plastik kecilnya. Setiap harinya dirinya hanya mampu membuat sepuluh hingga dua puluh bungkus plastik kecil. Itupun tidak bisa dipastikan dagangannya laku tiap hari. Hingga keesokan paginya, dia harus mengurangi jumlah setorannya untuk menutup setoran kemarin yang masih tersisa.

Photo By Hendri Winarto

Mutiara dari Kota Seribu Gua

Setiap orang yang mendengar Pacitan, tentu akan terbayang sebuah kota gersang, sulit air yang masyarakatnya hanya mengkonsumsi makanan thiwul –singkong yang dikeringkan kemudian ditumbuk halus kemudian dimasak- sebagai pengganti nasi. Namun, saat ini ada sekelumit harapan, bahwa jargon makanan yang sudah melekat dibenak masyarakat luas tersebut akan terganti dengan jajanan khas sale pisang, panganan yang terbuat dari pisang awak, jenis pisang yang banyak ditemukan di daerah-daerah panas dan gersang. Lalu, apa sebenarnya makanan khas yang mulai digandrungi masyarakat Pacitan tersebut?


Photo By Hendri Winarto